BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Public Relations (PR) – yang di Indonesia disebut sebagai Hubungan
Masyarakat (Humas) adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana,
baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi/ lembaga dengan semua
khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada
saling pengertian.
Dari definisi ini setidaknya dapat dijelaskan bahwa PR adalah kegiatan
komunikasi dua arah yang dilakukan lembaga/instansi kepada publiknya dengan maksud
adanya saling pengertian. Komunikasi ini harus di rencanakan karena menyakngkut
tujuan-tujuan lembaga.
Webster’s New World Dictionary mendefinisikan PR sebagai hubungan dengan masyarakat
luas, seperti melalui publisitas, khususnya mengenai fungsi-fungsi organisasi
yang berhubungan dengan usaha untuk menciptakan opini publik yang menyenangkan
untuk dirinya sendiri.
Sampai awal dekade 1970 - 1980 tidak kurang dari 2.000 definisi PR yang
dapat dijumpai dalam buku-buku serta majalah ilmiah dan berbagai terbitan
berkala lainnya, sejak pengetahuan itu diketahui sebagai profesi. Karena begitu
banyaknya definisi PR itu, maka para pemrakarsa PR dari berbagai negara di
seluruh dunia yang terhimpun dalam organisasi bernama, The International Public
Relations Association (IPRA), bersepakat untuk merumuskan sebuah definisi
dengan harapan dapat diterima dan dipraktekkan bersama. Menurut IPRA, “Public
Relations is a management functions, of a continuing and planned character,
through which public and private organizations and institutions seek to win and
retain the understanding, sympathy and support of those with whom they are or
maybe concerned – by evaluating public opinion about themselves, in order to
correlate, as fast as possible, their own policies and procedures, to achieve
by planned and widespread information more productive co-operation and more
efficient fulfillment of their common interests.”( PR adalah fungsi manajemen
yang terencana dan berkesinambungan,dimana organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga yang bersifat umum dan pribadi berupaya membina pengertian,
simpati, dan dukungan dari mereka yang ada Setelah pelatihan modul ini, peserta
latih diharapkan mampu memahamiperan, fungsi, dan tugas PR, agar dapat
dijadikan landasan dalam melakukan setiap kegiatan sebagai komunikator lembaga,
untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dan publik secara seimbang. kaitannya atau
yang mungkin ada hubungannya – dengan jalan menilai pendapat umum di antara
mereka, untuk mengkorelasikan sedapat mungkin, kebijaksanaan dan tata cara
mereka, yang dengan informasi terencana dan tersebar luas, mencapai kerja sama
yang lebih produktif dan pemenuhan kepentingan bersama yang lebih efisien.
1.2 Perumusan Masalah
1.
Apa saja Prinsip-prinsip Etika Profesi ?
2.
Apa Ikhwal Etika ?
3.
Apa Pengertian Etika ?
4.
Apa Etika dan Citra ?
5.
Apa Perihal Etika ?
6.
Bagaimana Etika dalam kegiatan Publik Relations ?
7.
Bagaimana Profesi dan Profesional ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membuat makalah ini adalah kita biasa mengetahui Prinsip Etika Profesi,
Ikhwal Etika, Pengertian Etika, Etika dan Citra, Perihal Etika, Etika dalam
kegiatan Public Relations serta Profesi dan Profesional.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini
adalah untuk menambah pengetahuan mengenai Prinsip
Etika Profesi, Ikhwal Etika, Pengertian Etika, Etika dan Citra, Perihal Etika,
Etika dalam kegiatan Public Relations serta Profesi dan Profesional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip
– Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk
masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu
yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika
profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja
prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada
umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum
profesional sejauh mereka adalah manusia.
1.
Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah
satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan
sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang
profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri
menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata,
dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab
menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan
kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggung jawabkan tugas pekerjaannya itu
berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait
langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga
bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan
orang lain khususnya kepentingan orang - orang yang dilayaninya. Pada tingkat
dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak
disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa
macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai
telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini
terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia
tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang
dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar
dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan
diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa
profesionalnya. Prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama”
merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang
seluas-luasnya. Jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan
pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi
bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional
dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar
secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering
terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut sering kali memprioritaskan
pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya
pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang
kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat
tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena
keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat)
tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3.
Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih
merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar
agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.
Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena,
hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh
ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini
terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus
menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh
mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar
kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan
inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu
dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional
harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika
profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa
campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional
tersebut. Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip
otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan
moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan
masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung
jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang
profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan
merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam
pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum
profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur
tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan
umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan
bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam
menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak
tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu
pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak
lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan
penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa
mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan
pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai
departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan
sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4.
Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan
ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah
juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia
mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan
juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip
ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam
menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta
citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri
untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang
dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak
akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau
melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya.
Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk
tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara
yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang
diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang,
bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi
mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau
bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat
pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan
mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi
memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain,
prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang
teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya
hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku
profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas
kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya
tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam
melayani masyarakat.
2.2 Ihwal Etika
Sebagai pedoman baik buruknya perilaku, etika adalah nilai-nilai, dan
asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya
perilaku manusia atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia. (Sobur,
2001:5)
Ditinjau dari sudut ilmu komunikasi seorang pejabat humas adalah
komunikator organisasional, bukan komunikator individu seperti seorang kiai
memimpin pesantren atau seorang dosen perguruan tinggi (Effendy, 1998:164)
Menurut Effendy (1998), pejabat humas bergiat melayani publik sebagai wakil
organisasi tempat ia bekerja. Apa yang ia katakan dan ia lakukan menyangkut
nilai dirinya dan citra organisasinya. Oleh karena itu seorang profesional
organisasional, harus menjadi sumber kredibilitas, dalam arti kata sebagai
seorang profesional ia harus dapat dipercaya, beritikad baik serta bersikap dan
berperilaku terpuji.
Seorang profesional organisasi kegiatannya menyangkut penilaian masyarakat,
sehingga banyak organisasi yang berkaitan dengan profesionalisme menyusun suatu
kode etik yang wajib dipatuhi oleh para anggota organisasi tersebut. Demikian,
maka di masyarakat dikenal berbagai kode etik, misalnya kode etik jurnalistik,
kode etik kedokteran, kode etik periklanan, kode etik hubungan masyarakat dan
lainnya. Tujuan diadakan kode etik tersebut ialah agar para anggota organisasi
bersangkutan mempunyai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka
manjaga citra organisasi
2.3 Pengertian Etika
Berbicara
mengenai pengertian etika, Effendy (1998) menyebutkan istilah etika mempunyai
dua pengertian, secara luas dan secara sempit. Secara luas, dilihat dari
istilah bahasa Inggris yakni ethics. Secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani ethica yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam ikatannya
dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau
buruk; dengan kata lain itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain
etika adalah filasafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus
bertindak.
Etika
dalam pengertian sempit atau dalam bahasa Inggris ethic (tanpa”s”) secara
etimologis berasal dari bahasa Latin “ethicus” atau bahasa Yunani “ethicos”
yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral.
Pendapat
Kenneth E. Andersen, yang disitir Effendy (1998), mendefinisikan etika sebagai
suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan atau keburukan dan
bagaimana seharusnya.
Ia
menyebutkan pula istilah-istilah etika (ethics, ethic), etis (ethical)
moralitas dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga
membingungkan.
Tetapi
etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu tindakan yang
dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana
jenis hukuman dan berat tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada
tindakan yang dilakukan.
Banyak
perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atau atas kehendaknya, seperti
mencangkul kebun, membersihkan mobil, mendirikan rumah, atau membunuh seseorang
yang direncanakan.
Dalam
kasus pembunuhan, penilaian terhadap perbuatan seperti itu bergantung apakah
direncanakan atau tidak. Itu semua berkaitan dengan hukuman yang dijatuhkan
kepada si pembunuh tersebut.
Tetapi
etika tidak membuat seorang menjadi baik, menunjukkan kepadanya baik buruknya
perbuatan itu. Meskipun demikian, etika turut mempengaruhi seseorang untuk
berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan
menjauhi larangan sebagaimana seharusnya.
Memang
manusia hidup dalam rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan.
Franz Von
Magnis dalam bukunya Etika Umum menyatakan bahwa jaringan norma seolah-olah
membelenggu kita, mencegah kita dari tindakan sesuai dengan keinginan kita,
mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. (Effendy,
1998:165)
Ada
batas-batas yang mencegah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita inginkan
dan yang bisa kita lakukan. Sebaiknya ada sesuatu yang harus kita lakukan yang
sebenarnya tidak kita inginkan. Dalam hubungan itu, Von Magnis memberikan
contoh sebagai berikut:
Saya haus dan di warung ada bir dan saya
cukup kuat untuk mengambilnya meskipun si pemilik warung tidak setuju tetapi
saya tidak boleh mengambilnya karena tidak bawa uang. Saya ingin mencium
seorang wanita tapi tidak boleh karena dia dan saya telah kawin, tetapi
masing-masing dengan orang yang berbeda. Saya sedang enak duduk di kursi,
tetapi harus bangkit untuk menyambut tamu yang datang.
Sebaiknya
banyak yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Contoh
untuk itu misalnya harus disuntik sebelum berangkat ke luar negeri. Seorang
petinju harus bersalaman dengan lawannya yang akan dipukul jatuh
2.4 Etika
dan Citra
Pentingnya
pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilan (profile)
dalam rangka menciptakan dan membina citra (image) organisasi yang diwakilinya.
Dua konsep
penting dari humas tersebut diidentifikasikan oleh G.Sachs dalam karyanya The
Extent and Intention of PR/Information Activities sebagai berikut: “Citra
(image) adalah pengetahuan mengenai kita sikap-sikap terhadap kita yang
mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Penampilan (profile)
adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita inginkan
mempunyai ragam kelompok kepentingan”.
Penjelasan
G. Sachs, yang disitir Effendy (1998), dapat disimak bahwa citra adalah dunia
sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri
dari titik pandang mengenai kita.
Sifat
penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan efek
tertunda serta menjadi subyek berbagai kendala dan gangguan.
Sehubungan
dengan informasi dan komunikasi itu, timbul beberapa pertanyaan: informasi apa
yang dikomunikasikannya, siapa yang mengkomunikasikannya, siapa yang menjadikan
sasaran komunikasinya, dan lain sebagainya.
Dalam
hubungannya dengan citra penampilan, tampak bahwa citra dan penampilan tidak
pernah serupa dan tidak pernah tepat. Citra menjadi sasaran faktor-faktor yang
sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai faktor-faktor yang dapat kita
pengaruhi dan yang mempengaruhi citra kita, jelas bahwa kegiatan
pengkomunikasian informasi yaitu cara menyalurkan penampilan kita sangatlah
penting karena merupakan kebijakan informasi.
Citra dan
penampilan dalam kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral sudah disadari
dan dipermasalahkan sejak lama, sejak humas dikonseptualisasikan, lebih–lebih
setelah didirikan International Public Relation Association (IPRA).
IPRA Code
of Conduct, yaitu kode etik atau kode perilaku dari organisai humas
internasional itu, diterima dalam konvensinya di Venice pada bulan Mei 1961.
Berikut ini adalah ikhtisar dari kode etik tersebut.
1)
Integritas
pribadi dan profesional (standar moral yang tinggi), reputasi yang sehat,
ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA.
2)
Perilaku
klien dan karyawan: (1) perlakuan yang adil terhadap klien dan karyawan, (2)
tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing tanpa persetujuan, (3)
menjaga kepercayaan klien dan karyawan, (4) tidak menerima upah, kecuali dari
klien lain atau majikan lain, (6) menjaga kompensasi yang tergantung pada
pencapaian suatu hasil tertentu.
3)
Perilaku
terhadap publik dan media: (1) memperhatikan kepentingan umum dan harga diri
seseorang, (2) tidak merusak integritas media komunikasi, (3) tidak menyebarkan
secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan, (4) memberikan gambaran
yang dapat dipercaya mengenai organisasi yang dilayani, (5) tidak menciptakan
atau menggunakan pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan khusus atau
kepentingan pribadi yang tidak terbuka.
4)
Perilaku
terhadap teman sejawat: (1) tidak melukai secara sengaja reputasi profesional
atau praktek anggota lain, (2) tidak berupaya mengganti anggota lain dengan
karyawannya atau kliennya, (3) bekerja sama dengan anggota lain dalam
menjunjung tinggi dan melaksanakan kode etik ini.
2.5 Perihal Etika
Istilah etiket sebagai terjemahan
dari bahasa Perancis etiquette secara harfiah berarti peringatan, secara
maknawi menurut The Random House Dictionary of The English Language, berarti
persyaratan konvensional mengenai perilaku sosial (conventional requirements as
to social behavior). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etiket diartikan
sebagai tata cara dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik
antara sesama manusianya.
Definisi di atas menjelaskan bahwa etiket adalah peraturan, baik secara
tidak tertulis maupun tertulis, mengenai pergaulan hidup manusia dalam suatu
masyarakat yang beradab. Perkataan “beradab” menunjukkan bahwa seseorang merasa
dirinya beradab harus mengenal tata cara hidup dalam pergaulan dengan manusia
lain. Apabila ia tidak peduli akan etiket pergaulan, maka ia akan dinilai tidak
beradab. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan beradab atau
peradaban itu? Peradaban atau sivilisasi (civilization), menurut kamus di atas berarti
sebuah keadaan masyarakat manusia yang maju yang telah mencapai taraf
kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan pada tingkat tinggi
(an advance state of human society, in which a high level of culture, science,
industry, and government has been reach).
Etiket berkaitan dengan tata cara pergaulan modern yang biasanya
dihubungkan dengan kehidupan bangsa barat yang memang telah mencapai taraf
kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan yang tinggi.
Etiket dalam hal tertentu berhubungan dengan etika, tetapi tidak selalu,
sebab etika seperti telah dijelaskan tadi berhubungan dengan penilaian benar
atau salah dan baik atau buruk yang dilakukan secara sengaja. Seorang yang
berperilaku tidak etis dalam arti kata tidak mempedulikan etika adalah
menyinggung perasaan orang lain, kelompok lain, atau bangsa lain, karena
tindakannya dilakukan dengan sengaja.
Etiket tidak demikian. Seseorang yang tidak tahu etiket tidak dapat dinilai
tidak etis. Etiket berfungsi seseorang dinilai beradab sebagaimana disinggung
diatas. Demikianlah dalam pergaulan modern dikenal etiket berpakaian, etiket
makan, etiket minum, etiket bertamu, dan lain sebagainya.
Paparan di atas merupakan isyarat para pejabat humas betapa pentingnya
etika dan etiket bagi para pejabat humas dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari, sebab penampilannya menyangkut citra organisasi yang diwakilinya.
Kolonel William P. Nickols, Direktur Humas Angkatan Darat Amerika Serikat,
pernah menyajikan suatu ilustrasi yang sangat bagus kepada para tarunanya
mengenai pentingnya penjagaan citra organisasi yang menjadi tanggung jawab
humas. Dia berucap begini:
Humas adalah ibarat cermin yang Anda pegang di depan organisasi Anda,
sehingga Anda, organisasi yang Anda wakili, dan publik, dapat melihat segala
sesuatu yang tampak pada cermin tersebut. Jika cermin itu retak, kotor dan
banyak goresan, akan memantulkan gambaran atau citra yang rusak di wajah
organisasi Anda yang sebenarnya. Akan tetapi, apabila cermin itu bersih
cemerlang akan memperlihatkan wajah organisasi Anda yang sebenarnya pula,
terang dan jelas. Misalkan pada wajah organisasi Anda terdapat noda, apakah
karena penampilan Anda, kebijaksanaan Anda, atau kegiatan yang Anda lakukan,
maka itu semua dengan mudah dapat menyentuh perasaan publik Anda. Cermin yang
cacat tidak akan dapat menunjukkan noda-noda tadi. Dan Anda, demikian pula
organisasi Anda dan publik Anda tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan yang
terjadi. Sebaliknya cermin yang utuh cemerlang akan membangkitkan perhatian
untuk segera menghilangkan noda-noda tersebut.
Jadi humas diibaratkan cermin, dan yang bertugas memelihara dan bertanggung
jawab atas kebersihan itu adalah pejabat humas beserta staf yang dipimpinnya
dengan cara senantiasa menjaga etika dan etiket dalam pergaulan hidup
sehari-hari, baik dengan publik internal maupun eksternal.
2.6 Etika dan Kegiatan Publik Relations
Telah kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah
dalam hal pengertian wujud manusia (human being), melainkan proses rohaniah
yang tertuju kepada kebahagiaan yang menyangkut watak, sifat, perangai,
kepribadian, tingkah laku dan lain-lain, serta aspek-aspek yang menyangkut
kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia (Soekotjo, 1993:102).
Menurut Soekotjo (1993), karena itu
dalam konteks hubungan di Indonesia, yang baik terlebih lagi sebagai insan
humas, maka akan tampak betapa pentingnya faktor etika. Disebut orang penting
karena sebelum melaksanakan hubungan manusia, sikap etis harus tercermin
terlebih dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak menyangkut
hubungan manusia.
Terlebih lagi sebagai manusia
Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih tampak di mana-mana, sikap etis
seorang pemimpin terhadap bawahannya menjadi sangat penting karena seorang
pemimpin harus mencerminkan sikap seorang panutan yang akan disegani oleh
bawahan dan rekan-rekan sekerjanya. Aturan pertama dan pokok dari segala etika:
Do what you want from others do to you?.
Dalam hubungannya dengan kegiatan
manajemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam
profesinya sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika yang umum dan
tidak umum antara lain:
1.
Good
communicator for internal and external public
2.
Tidak terlepas
dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
3.
Memberikan kepada
bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada
perusahaannya (membuat mereka merasa diakui/dibutuhkan)
4.
Etika
sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
5.
Menyampaikan
informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan
6.
Menghormati
prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
7.
Menguasai teknik
dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan
pertimbangan secara bijaksana
8.
Mengenal
batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
9.
Penuh dedikasi
dalam profesinya
10.
Menaati kode
etik humas.
2.7 Profesi dan Profesional
Menurut Ruslan (2001), kiat menjadi
profesional, yaitu harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang melekat pada
profesi yang ditekuni oleh yang bersangkutan, khususnya profesional public
relations. Secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memiliki
skill atau kemampuan, pengetahuan tinggi oleh orang umum lainnya, apakah itu
diperoleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang diperolehnya, dan ditambah
dengan pengalaman selama bertahun-tahun yang telah ditempuhnya sebagai
profesional.
2) Mempunyai
kode etik dan merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan
secara formal, tertulis dan normatif dalam bentuk suatu aturan main, dan
perilaku ke dalam “Kode Etik” yang merupakan standar atau komitmen moral atau
perilaku (code of conduct) dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban selaku by
profession dan by function yang memberikan bimbingan, arahan, serta memberikan
jaminan dan pedoman bagi profesi yang bersangkutan untuk tetap taat dan
mematuhi kode etik tersebut
3) Memiliki
tanggung jawab profesi dan integritas pribadi yang tinggi baik terhadap dirinya
sebagai penyandang profesi humas/PR, maupun terhadap publik, iklim, pimpinan,
organisasi perusahaan, pembangunan media massa hingga menjaga martabat serta
nama baik bangsa dan negaranya.
4) Memiliki
jiwa pengabdian kepada publik atau masyarakat, dan dengan penuh dedikasi
profesi luhur yang disandangnya, yaitu dalam pengambilan keputusan adalah
meletakkan kepentingan pribadinya demi kepentingan masyarakat, bangsa dan
negaranya. Memiliki jiwa pengabdian dan semangat dedikasi tinggi dan tanpa
pamrih dalam memberikan pelayanan jasa keahlian dan bantuan kepada pihak lain
yang memang membutuhkannya.
5) Otonomisasi
organisasi profesional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola organisasi
PR/humas, yang mempunyai kemampuan perencanaan dalam program kerja jelas,
strategik, mandiri, dan tidak bergantung pihak lain serta sekaligus dapat
bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, dapat dipercaya dalam menjalankan
operasional, peran dan fungsinya. Di samping itu, memiliki standar dan etos
kerja profesional yang tinggi.
6) Menjadi
anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk menjaga eksisitensinya,
mempertahankan kehormatan dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai
tolok ukur agar tidak dilanggar. Selain organisasi profesi sebagai tempat
berkumpul, fungsi lainnya adalah merupakan wacana komunikasi untuk saling
menukar informasi, pengetahuan dan membangun rasa solidaritas sesama rekan
anggota.
Sebagai seorang profesional PR/humas harus mampu bekerja atau bertindak
melalui pertimbangan yang matang dan benar, yaitu dapat membedakan secara etis
mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, sesuai dengan pedoman kode etik
profesi yang disandang.
Melalui pemahaman etika profesi tersebut, diharapkan para profesional dan
khususnya PR/humas yang harus memiliki kemampuan tertentu, yaitu:
1)
Kemampuan untuk kesadaran etis, yang merupakan
landasan kesadaran yang utama, bagi seseorang profesional untuk lebih sensitif
dalam memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subjektif, tetapi ditujukan
untuk kepentingan yang lebih luas (objektif)
2) Kemampuan
untuk berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil
keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, objektif, dan penuh dengan
integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi.
3) Kemampuan
untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku, sikap, etika moral dan
tata krama (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau
berhubungan dengan pihak lain (social contact), termasuk memperhatikan hak-hak
pihak lain dan dengan menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.
4) Kemampuan
untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership) yakni kemampuan atau memiliki
jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing dan
membina pihak lain yang dipimpinnya, termasuk menghargai pendapat dan kritikan
dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Public
Relations (PR) – yang di Indonesia disebut sebagai Hubungan Masyarakat (Humas)
adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu
ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi / lembaga dengan semua
khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada
saling pengertian.
Etika
Profesi Publik Relations terbagi menjadi, yaitu :
1.
Prinsip – prinsip Etika Profesi
2.
Ikhwal Etika
3.
Pengertian Etika
4.
Etika dan Citra
5.
Perihal Etika
6.
Etika Dalam Kegiatan Publik Relations
7.
Profesi dan Profesional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar