Sabtu, 14 November 2015

Makalah Etika Profesi Publik Relations



BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Public Relations (PR) – yang di Indonesia disebut sebagai Hubungan Masyarakat (Humas) adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi/ lembaga dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian.
Dari definisi ini setidaknya dapat dijelaskan bahwa PR adalah kegiatan komunikasi dua arah yang dilakukan lembaga/instansi kepada publiknya dengan maksud adanya saling pengertian. Komunikasi ini harus di rencanakan karena menyakngkut tujuan-tujuan lembaga.
Webster’s New World Dictionary mendefinisikan PR sebagai hubungan dengan masyarakat luas, seperti melalui publisitas, khususnya mengenai fungsi-fungsi organisasi yang berhubungan dengan usaha untuk menciptakan opini publik yang menyenangkan untuk dirinya sendiri.
Sampai awal dekade 1970 - 1980 tidak kurang dari 2.000 definisi PR yang dapat dijumpai dalam buku-buku serta majalah ilmiah dan berbagai terbitan berkala lainnya, sejak pengetahuan itu diketahui sebagai profesi. Karena begitu banyaknya definisi PR itu, maka para pemrakarsa PR dari berbagai negara di seluruh dunia yang terhimpun dalam organisasi bernama, The International Public Relations Association (IPRA), bersepakat untuk merumuskan sebuah definisi dengan harapan dapat diterima dan dipraktekkan bersama. Menurut IPRA, “Public Relations is a management functions, of a continuing and planned character, through which public and private organizations and institutions seek to win and retain the understanding, sympathy and support of those with whom they are or maybe concerned – by evaluating public opinion about themselves, in order to correlate, as fast as possible, their own policies and procedures, to achieve by planned and widespread information more productive co-operation and more efficient fulfillment of their common interests.”( PR adalah fungsi manajemen yang terencana dan berkesinambungan,dimana organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang bersifat umum dan pribadi berupaya membina pengertian, simpati, dan dukungan dari mereka yang ada Setelah pelatihan modul ini, peserta latih diharapkan mampu memahamiperan, fungsi, dan tugas PR, agar dapat dijadikan landasan dalam melakukan setiap kegiatan sebagai komunikator lembaga, untuk memenuhi kebutuhan pimpinan dan publik secara seimbang. kaitannya atau yang mungkin ada hubungannya – dengan jalan menilai pendapat umum di antara mereka, untuk mengkorelasikan sedapat mungkin, kebijaksanaan dan tata cara mereka, yang dengan informasi terencana dan tersebar luas, mencapai kerja sama yang lebih produktif dan pemenuhan kepentingan bersama yang lebih efisien.


1.2 Perumusan Masalah

1.      Apa saja Prinsip-prinsip Etika Profesi ?
2.      Apa Ikhwal Etika ?
3.      Apa Pengertian Etika ?
4.      Apa Etika dan Citra ?
5.      Apa Perihal Etika ?
6.      Bagaimana Etika dalam kegiatan Publik Relations ?
7.      Bagaimana Profesi dan Profesional ?


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis membuat makalah ini adalah kita biasa mengetahui Prinsip Etika Profesi, Ikhwal Etika, Pengertian Etika, Etika dan Citra, Perihal Etika, Etika dalam kegiatan Public Relations serta Profesi dan Profesional.



1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai Prinsip Etika Profesi, Ikhwal Etika, Pengertian Etika, Etika dan Citra, Perihal Etika, Etika dalam kegiatan Public Relations serta Profesi dan Profesional.






































BAB II

PEMBAHASAN


2.1 Prinsip – Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.

1.         Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggung jawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang - orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2.         Prinsip kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya. Prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya  profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut sering kali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3.         Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut. Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4.         Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.


2.2 Ihwal Etika

Sebagai pedoman baik buruknya perilaku, etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya perilaku manusia atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia. (Sobur, 2001:5)
Ditinjau dari sudut ilmu komunikasi seorang pejabat humas adalah komunikator organisasional, bukan komunikator individu seperti seorang kiai memimpin pesantren atau seorang dosen perguruan tinggi (Effendy, 1998:164)
Menurut Effendy (1998), pejabat humas bergiat melayani publik sebagai wakil organisasi tempat ia bekerja. Apa yang ia katakan dan ia lakukan menyangkut nilai dirinya dan citra organisasinya. Oleh karena itu seorang profesional organisasional, harus menjadi sumber kredibilitas, dalam arti kata sebagai seorang profesional ia harus dapat dipercaya, beritikad baik serta bersikap dan berperilaku terpuji.
Seorang profesional organisasi kegiatannya menyangkut penilaian masyarakat, sehingga banyak organisasi yang berkaitan dengan profesionalisme menyusun suatu kode etik yang wajib dipatuhi oleh para anggota organisasi tersebut. Demikian, maka di masyarakat dikenal berbagai kode etik, misalnya kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik periklanan, kode etik hubungan masyarakat dan lainnya. Tujuan diadakan kode etik tersebut ialah agar para anggota organisasi bersangkutan mempunyai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka manjaga citra organisasi



2.3 Pengertian Etika

Berbicara mengenai pengertian etika, Effendy (1998) menyebutkan istilah etika mempunyai dua pengertian, secara luas dan secara sempit. Secara luas, dilihat dari istilah bahasa Inggris yakni ethics. Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ethica yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau buruk; dengan kata lain itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan kata lain etika adalah filasafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak.
Etika dalam pengertian sempit atau dalam bahasa Inggris ethic (tanpa”s”) secara etimologis berasal dari bahasa Latin “ethicus” atau bahasa Yunani “ethicos” yang berarti himpunan asas-asas nilai atau moral.
Pendapat Kenneth E. Andersen, yang disitir Effendy (1998), mendefinisikan etika sebagai suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penerapannya. Ia bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa itu kebaikan atau keburukan dan bagaimana seharusnya.
Ia menyebutkan pula istilah-istilah etika (ethics, ethic), etis (ethical) moralitas dan moral acapkali dipergunakan secara tertukar sehingga membingungkan.
Tetapi etika hanya berkaitan dengan tingkah laku atau perbuatan, suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja dalam keadaan sadar, sehingga patut dihukum. Bagaimana jenis hukuman dan berat tidaknya hukuman yang dikenakan bergantung pada tindakan yang dilakukan.
Banyak perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja atau atas kehendaknya, seperti mencangkul kebun, membersihkan mobil, mendirikan rumah, atau membunuh seseorang yang direncanakan.
Dalam kasus pembunuhan, penilaian terhadap perbuatan seperti itu bergantung apakah direncanakan atau tidak. Itu semua berkaitan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada si pembunuh tersebut.
Tetapi etika tidak membuat seorang menjadi baik, menunjukkan kepadanya baik buruknya perbuatan itu. Meskipun demikian, etika turut mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana seharusnya.
Memang manusia hidup dalam rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan.
Franz Von Magnis dalam bukunya Etika Umum menyatakan bahwa jaringan norma seolah-olah membelenggu kita, mencegah kita dari tindakan sesuai dengan keinginan kita, mengikat kita untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya kita benci. (Effendy, 1998:165)
Ada batas-batas yang mencegah kita melakukan sesuatu yang sebenarnya kita inginkan dan yang bisa kita lakukan. Sebaiknya ada sesuatu yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Dalam hubungan itu, Von Magnis memberikan contoh sebagai berikut:
    Saya haus dan di warung ada bir dan saya cukup kuat untuk mengambilnya meskipun si pemilik warung tidak setuju tetapi saya tidak boleh mengambilnya karena tidak bawa uang. Saya ingin mencium seorang wanita tapi tidak boleh karena dia dan saya telah kawin, tetapi masing-masing dengan orang yang berbeda. Saya sedang enak duduk di kursi, tetapi harus bangkit untuk menyambut tamu yang datang.
Sebaiknya banyak yang harus kita lakukan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Contoh untuk itu misalnya harus disuntik sebelum berangkat ke luar negeri. Seorang petinju harus bersalaman dengan lawannya yang akan dipukul jatuh

2.4  Etika dan Citra
Pentingnya pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra (image) organisasi yang diwakilinya.
Dua konsep penting dari humas tersebut diidentifikasikan oleh G.Sachs dalam karyanya The Extent and Intention of PR/Information Activities sebagai berikut: “Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita sikap-sikap terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Penampilan (profile) adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan”.
Penjelasan G. Sachs, yang disitir Effendy (1998), dapat disimak bahwa citra adalah dunia sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik pandang mengenai kita.
Sifat penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan efek tertunda serta menjadi subyek berbagai kendala dan gangguan.
Sehubungan dengan informasi dan komunikasi itu, timbul beberapa pertanyaan: informasi apa yang dikomunikasikannya, siapa yang mengkomunikasikannya, siapa yang menjadikan sasaran komunikasinya, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan citra penampilan, tampak bahwa citra dan penampilan tidak pernah serupa dan tidak pernah tepat. Citra menjadi sasaran faktor-faktor yang sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai faktor-faktor yang dapat kita pengaruhi dan yang mempengaruhi citra kita, jelas bahwa kegiatan pengkomunikasian informasi yaitu cara menyalurkan penampilan kita sangatlah penting karena merupakan kebijakan informasi.
Citra dan penampilan dalam kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral sudah disadari dan dipermasalahkan sejak lama, sejak humas dikonseptualisasikan, lebih–lebih setelah didirikan International Public Relation Association (IPRA).
IPRA Code of Conduct, yaitu kode etik atau kode perilaku dari organisai humas internasional itu, diterima dalam konvensinya di Venice pada bulan Mei 1961. Berikut ini adalah ikhtisar dari kode etik tersebut.
1)        Integritas pribadi dan profesional (standar moral yang tinggi), reputasi yang sehat, ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA.
2)        Perilaku klien dan karyawan: (1) perlakuan yang adil terhadap klien dan karyawan, (2) tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing tanpa persetujuan, (3) menjaga kepercayaan klien dan karyawan, (4) tidak menerima upah, kecuali dari klien lain atau majikan lain, (6) menjaga kompensasi yang tergantung pada pencapaian suatu hasil tertentu.
3)        Perilaku terhadap publik dan media: (1) memperhatikan kepentingan umum dan harga diri seseorang, (2) tidak merusak integritas media komunikasi, (3) tidak menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan, (4) memberikan gambaran yang dapat dipercaya mengenai organisasi yang dilayani, (5) tidak menciptakan atau menggunakan pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan khusus atau kepentingan pribadi yang tidak terbuka.
4)        Perilaku terhadap teman sejawat: (1) tidak melukai secara sengaja reputasi profesional atau praktek anggota lain, (2) tidak berupaya mengganti anggota lain dengan karyawannya atau kliennya, (3) bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan kode etik ini.

2.5  Perihal Etika
     Istilah etiket sebagai terjemahan dari bahasa Perancis etiquette secara harfiah berarti peringatan, secara maknawi menurut The Random House Dictionary of The English Language, berarti persyaratan konvensional mengenai perilaku sosial (conventional requirements as to social behavior). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etiket diartikan sebagai tata cara dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama manusianya.
Definisi di atas menjelaskan bahwa etiket adalah peraturan, baik secara tidak tertulis maupun tertulis, mengenai pergaulan hidup manusia dalam suatu masyarakat yang beradab. Perkataan “beradab” menunjukkan bahwa seseorang merasa dirinya beradab harus mengenal tata cara hidup dalam pergaulan dengan manusia lain. Apabila ia tidak peduli akan etiket pergaulan, maka ia akan dinilai tidak beradab. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan beradab atau peradaban itu? Peradaban atau sivilisasi (civilization), menurut kamus di atas berarti sebuah keadaan masyarakat manusia yang maju yang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan pada tingkat tinggi (an advance state of human society, in which a high level of culture, science, industry, and government has been reach).
Etiket berkaitan dengan tata cara pergaulan modern yang biasanya dihubungkan dengan kehidupan bangsa barat yang memang telah mencapai taraf kebudayaan, ilmu pengetahuan, industri, dan pemerintahan yang tinggi.
Etiket dalam hal tertentu berhubungan dengan etika, tetapi tidak selalu, sebab etika seperti telah dijelaskan tadi berhubungan dengan penilaian benar atau salah dan baik atau buruk yang dilakukan secara sengaja. Seorang yang berperilaku tidak etis dalam arti kata tidak mempedulikan etika adalah menyinggung perasaan orang lain, kelompok lain, atau bangsa lain, karena tindakannya dilakukan dengan sengaja.
Etiket tidak demikian. Seseorang yang tidak tahu etiket tidak dapat dinilai tidak etis. Etiket berfungsi seseorang dinilai beradab sebagaimana disinggung diatas. Demikianlah dalam pergaulan modern dikenal etiket berpakaian, etiket makan, etiket minum, etiket bertamu, dan lain sebagainya.
Paparan di atas merupakan isyarat para pejabat humas betapa pentingnya etika dan etiket bagi para pejabat humas dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, sebab penampilannya menyangkut citra organisasi yang diwakilinya.
Kolonel William P. Nickols, Direktur Humas Angkatan Darat Amerika Serikat, pernah menyajikan suatu ilustrasi yang sangat bagus kepada para tarunanya mengenai pentingnya penjagaan citra organisasi yang menjadi tanggung jawab humas. Dia berucap begini:
Humas adalah ibarat cermin yang Anda pegang di depan organisasi Anda, sehingga Anda, organisasi yang Anda wakili, dan publik, dapat melihat segala sesuatu yang tampak pada cermin tersebut. Jika cermin itu retak, kotor dan banyak goresan, akan memantulkan gambaran atau citra yang rusak di wajah organisasi Anda yang sebenarnya. Akan tetapi, apabila cermin itu bersih cemerlang akan memperlihatkan wajah organisasi Anda yang sebenarnya pula, terang dan jelas. Misalkan pada wajah organisasi Anda terdapat noda, apakah karena penampilan Anda, kebijaksanaan Anda, atau kegiatan yang Anda lakukan, maka itu semua dengan mudah dapat menyentuh perasaan publik Anda. Cermin yang cacat tidak akan dapat menunjukkan noda-noda tadi. Dan Anda, demikian pula organisasi Anda dan publik Anda tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi. Sebaliknya cermin yang utuh cemerlang akan membangkitkan perhatian untuk segera menghilangkan noda-noda tersebut.
Jadi humas diibaratkan cermin, dan yang bertugas memelihara dan bertanggung jawab atas kebersihan itu adalah pejabat humas beserta staf yang dipimpinnya dengan cara senantiasa menjaga etika dan etiket dalam pergaulan hidup sehari-hari, baik dengan publik internal maupun eksternal.

2.6  Etika dan Kegiatan Publik Relations
     Telah kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah dalam hal pengertian wujud manusia (human being), melainkan proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, tingkah laku dan lain-lain, serta aspek-aspek yang menyangkut kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia (Soekotjo, 1993:102).
Menurut Soekotjo (1993), karena itu dalam konteks hubungan di Indonesia, yang baik terlebih lagi sebagai insan humas, maka akan tampak betapa pentingnya faktor etika. Disebut orang penting karena sebelum melaksanakan hubungan manusia, sikap etis harus tercermin terlebih dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak menyangkut hubungan manusia.
Terlebih lagi sebagai manusia Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih tampak di mana-mana, sikap etis seorang pemimpin terhadap bawahannya menjadi sangat penting karena seorang pemimpin harus mencerminkan sikap seorang panutan yang akan disegani oleh bawahan dan rekan-rekan sekerjanya. Aturan pertama dan pokok dari segala etika: Do what you want from others do to you?.
Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika yang umum dan tidak umum antara lain:
1.         Good communicator for internal and external public
2.         Tidak terlepas dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
3.         Memberikan kepada bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka merasa diakui/dibutuhkan)
4.         Etika sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
5.         Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan
6.         Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
7.         Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana
8.         Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
9.         Penuh dedikasi dalam profesinya
10.       Menaati kode etik humas.


2.7  Profesi dan Profesional
     Menurut Ruslan (2001), kiat menjadi profesional, yaitu harus memiliki ciri-ciri khusus tertentu yang melekat pada profesi yang ditekuni oleh yang bersangkutan, khususnya profesional public relations. Secara umum memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Memiliki skill atau kemampuan, pengetahuan tinggi oleh orang umum lainnya, apakah itu diperoleh dari hasil pendidikan atau pelatihan yang diperolehnya, dan ditambah dengan pengalaman selama bertahun-tahun yang telah ditempuhnya sebagai profesional.
2)      Mempunyai kode etik dan merupakan standar moral bagi setiap profesi yang dituangkan secara formal, tertulis dan normatif dalam bentuk suatu aturan main, dan perilaku ke dalam “Kode Etik” yang merupakan standar atau komitmen moral atau perilaku (code of conduct) dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban selaku by profession dan by function yang memberikan bimbingan, arahan, serta memberikan jaminan dan pedoman bagi profesi yang bersangkutan untuk tetap taat dan mematuhi kode etik tersebut
3)      Memiliki tanggung jawab profesi dan integritas pribadi yang tinggi baik terhadap dirinya sebagai penyandang profesi humas/PR, maupun terhadap publik, iklim, pimpinan, organisasi perusahaan, pembangunan media massa hingga menjaga martabat serta nama baik bangsa dan negaranya.
4)      Memiliki jiwa pengabdian kepada publik atau masyarakat, dan dengan penuh dedikasi profesi luhur yang disandangnya, yaitu dalam pengambilan keputusan adalah meletakkan kepentingan pribadinya demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negaranya. Memiliki jiwa pengabdian dan semangat dedikasi tinggi dan tanpa pamrih dalam memberikan pelayanan jasa keahlian dan bantuan kepada pihak lain yang memang membutuhkannya.
5)      Otonomisasi organisasi profesional, yaitu memiliki kemampuan untuk mengelola organisasi PR/humas, yang mempunyai kemampuan perencanaan dalam program kerja jelas, strategik, mandiri, dan tidak bergantung pihak lain serta sekaligus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, dapat dipercaya dalam menjalankan operasional, peran dan fungsinya. Di samping itu, memiliki standar dan etos kerja profesional yang tinggi.
6)      Menjadi anggota salah satu organisasi profesi sebagai wadah untuk menjaga eksisitensinya, mempertahankan kehormatan dan menertibkan perilaku standar profesi sebagai tolok ukur agar tidak dilanggar. Selain organisasi profesi sebagai tempat berkumpul, fungsi lainnya adalah merupakan wacana komunikasi untuk saling menukar informasi, pengetahuan dan membangun rasa solidaritas sesama rekan anggota.
Sebagai seorang profesional PR/humas harus mampu bekerja atau bertindak melalui pertimbangan yang matang dan benar, yaitu dapat membedakan secara etis mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, sesuai dengan pedoman kode etik profesi yang disandang.
Melalui pemahaman etika profesi tersebut, diharapkan para profesional dan khususnya PR/humas yang harus memiliki kemampuan tertentu, yaitu:
1)      Kemampuan untuk kesadaran etis, yang merupakan landasan kesadaran yang utama, bagi seseorang profesional untuk lebih sensitif dalam memperhatikan kepentingan profesi bukan untuk subjektif, tetapi ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif)
2)      Kemampuan untuk berpikir secara etis dan mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, objektif, dan penuh dengan integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi.
3)      Kemampuan untuk berperilaku secara etis, yaitu memiliki perilaku, sikap, etika moral dan tata krama (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social contact), termasuk memperhatikan hak-hak pihak lain dan dengan menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain.
4)      Kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (ethical leadership) yakni kemampuan atau memiliki jiwa untuk memimpin secara etis, diperlukan untuk mengayomi, membimbing dan membina pihak lain yang dipimpinnya, termasuk menghargai pendapat dan kritikan dari orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
BAB III

PENUTUP


3.1  Kesimpulan

Public Relations (PR) – yang di Indonesia disebut sebagai Hubungan Masyarakat (Humas) adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi / lembaga dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian.

Etika Profesi Publik Relations terbagi menjadi, yaitu :
1.      Prinsip – prinsip Etika Profesi
2.      Ikhwal Etika
3.      Pengertian Etika
4.      Etika dan Citra
5.      Perihal Etika
6.      Etika Dalam Kegiatan Publik Relations
7.      Profesi dan Profesional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar